Rabu, 03 September 2014

Kontoversi Ilmu Sains dengan Ilmu Agama bab ll



Unsur pertama dalam kegiatan fisika adlah observasi atau pengamatan terhadap bagian alam yang ingin diketahui sifat dan perilakunya pada kondisi tertentu. Tidak dibenarkan dalam kegiatan fisika adanya penggantian pengamatan dengan pengkhayalan tentang perilaku alam itu, kecuali apabila imajinasi tersebut didukung oleh hasil perhitungan matematis yang diabarkan dari perilaku-perilaku lain yang telah diketahui secara umum.
Setelah pengamatan, unsur penting yang kedua dalam pengembangan fisika adalah pengukuran (kuantifikasi) yang dilakukan semaksimal mungkin. Hal ini karena segala sesuatu akan menadi kabur dalam fisika apabila hanya dinyatakan secara kualitatif saja. Bila seorang fisikawan mendengar ucapan “angin meniup sepoi-sepoi basa”, maka ia akan berkomentar bahwa ungkapan itu bukanlah merupakan fisika melainkan puisi. Namun jika beliau mendengar kata-kata “udara mengalir dengan kecepatan 8 kilometer per am dengan suhu 22 deraat celcius dan kelembaban 85 persen”, maka bisa dikategorikan sebagai pernyataan fisika. Memang demikianlah keadaannya, sebab di dalam fisika semua eksperimen yang melandasi pernyataan fisika harus dapat direproduksi agar dapat dikai ulang oleh fisikawan lainnya. Besaran-besaran fisis sebagai hasil eksperimen itu harus dinyatakan dengan besaran ukuran dalam satuan terkait, misalnya massa dalam kilogram, waktu dalam sekon, panjang dalam meter, dan sebagainya.
Kalau seorang fisikawan harus menimbulkan kembali keadaan yang ada dalam pernyataan yang puitis, maka dia akan angkat tangan alias tidak bisa menelitinya. Hal ini karena dia tidak tahu kata-kata “sepoi-sepoi basa” seperti apa yang harus ditimbulkan. Sedangkan untuk pernyataan kedua (pernyataan fisika), maka setiap mahasiswa akan dapat mereproduksikannya di dalam laboratorium. Mahasiswa itu akan segera mengambil thermometer untuk mengukur temperature udara yang akan diturunkan suhunya sampai 22 derajat, mengambil hygrometer untuk mengukur kekeringan udara dingin yang akan dilembabkan sampai 85 persen, dan memasang alat untuk mengukur kelajuan gerak udara yang akan ditimbulkan. Memang fisika adalah ilmu kuantitatif seperti halnya sains pada umumnya.
Besaran-besaran yang dapat diukur itu disebut besaran fisika atau besaran fisis. Baik temperature maupun kelembaban udara yang diperbincangkan diatas, memiliki ukuran tertentu, berapa tingginya dalam satuan ukur yang berlaku. Begitu pula gerak udara yang diciptakan Tuan Yang Maha Perkasa itu, mempunyai ukuran kecepatan, besaran kelajuannya, dan ke arah mana geraknya. Kalau besaran-besaran fisis yang tampil dalam suatu proses alamiah berhubungan satu sama lain, maka hubungan antara mereka itu dapat dirumuskan dalam bentuk matematis. Dalam bentuk ini, perhitungan-perhitungan yang diperlukan dalam penerapannya dapat dilakukan dengan mudah.
Cobalah diingat pada masa kanak-kanak, ketiak kita harus memompa ban sepeda yang kemps. Mula-mula usaha memasukkan udara ke dalam ban itu dengan pompa terasa sangat mudah, tetapi kemudian setelah ban itu keras, usaha selanjutnya terasa berat. Bagi mereka yang usil, pompa tersebut kemudian dipermainkan. Setelah udara disedot memenuhi tabung pompa itu, lobangnya kemudian ditutup dengan jari. Jika udara tertutup itu ditekan dengan kuat, ia akan keluar karena jari penutup tak tahan tekanan udara dari dalam pompa. Fakta ini menunjukkan bahwa bila volume udara dikecilkan, tekanannya akan naik; begitulah perilaku alam dalam kondisi tertentu, yaitu udara dalam ruang tertutup pada suhu tertentu. Bagi yang ingin menemukan sunnatullah yang mengendalikan peristiwa tersebut sebaiknya dia mengukur volume dan tekanan udara pada setiap posisi.
Unsur lainnya dalam pengembangan fisika adalah analisis terhadap data yang terkumpul dari berbagai pengukuran atas besaran-besaran fisis. Analisis itu dilakukan melalui proses pemikiran kritis yang kemudian dilanjutkan dengan evaluasi terhadap hasil-hasilnya melalui nalar sehat untuk mencapai kesimpulan yang rasional. Dalam kasus pompa sepeda, andai semula ketika pompa itu menyedot udara sampai penuh, volumenya satu liter, dan tekanan udaranya sama dengan tekanan udara di luar (yaitu satu atmosfer), maka kita dapat membuat tabel keadaan sistem tersebut pada kondisi-kondisi tertentu dengan menutup lobang pompa itu dan mengubah-ubah volumenya. Setiap kali kita mengukur volume dan tekanan udara di dalamnya, maka akan diperoleh sepasang besaran bagi kondisi sistem seperti terlihat dalam daftar tabel.
 
Kita dapat menyimpulkan bahwa perkalian besar volume dengan besar tekanan menghasilkan bilangan yang konstan. Dalam contoh pompa itu, akan diperoleh rumus: P x V = C dengan C = 1. Penggunaan akal atau penalaran dalam proses terakhir ini, akan menghasilkan kesimpulan bahwa merupakan unsur penting lainnya. Hasil penyimpulan ini biasanya diumumkan sebagai publikasi ilmiah, untuk diselidiki, dikaji, disanggah, atau didukung oleh fisikawan lainnya di seluruh dunia.
Konsensus yang tercapai mengenai masalah itulah, yang merupakan materi ilmu dalam fisika. Dari himpunan rasionalitas kolektif insani ini kemudian dijabarkan penggunaannya sebagai teknologi, bagi pemanfaatan alam dan pengelolaannya secara baik, sehingga lingkungan hidup yang lestari ini dapat menjadi sumber penghidupan dan tempat berlindung bagi manusia yang mengelolanya. Alquran mengajarkan lebih dari itu di mana seorang Muslim dianjurkan untuk menjadi manusia yang utuh. Dia tidak boleh merusak dan membinasakan lingkungan hidup yang ada di muka bumi ini.
 
“Dan carilah pada apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakani” (Q.S. Al-Qashash [28]: 77).
 
Jika kita menguasai fisika, atau sains pada umumnya, kita akan mengetahui bagaimana alam akan bertingkah laku pada kondisi tertentu. Kita akan dapat meramalkan bagaimana alam akan memberikan reaksi atau respon terhadap tindakan yang kita lakukan terhadapnya. Dengan ilmu pengetahuan kealaman yang dimilikinya, manusia dapat menimbulkan kondisi yang dia pilih sedemikian rupa sehingga alam menyambutnya dengan respon yang menguntungkan. Dia akan mampu terbang, membuat bahan-bahan sintetik, menghubungi temannya yang berada di belahan bumi lain, dan sebagainya. Sains yang dikuasai manusia bisa dijadikan sebagai sumber teknologi bagi kesejahteraan dirinya dan orang lain serta lingkungan hidup sekitar yang dikelolanya dengan baik sehingga dia pantas disebut sebagai “khalifah di bumi”.
Keberhasilan suatu teknologi bergantung pada kemampuan orang untuk memilih kondisi-kondisi yang mendorong alam untuk bertindak seperti yang diinginkan. Tentu saja perilaku alam raya ini dikendalikan oleh sunnatullah yang mengatur bagaimana alam harus bereaksi pada kondisi tersebut, karena alam itu tidak dapat berbuat apa-apa kecuali berdasarkan ketetapan Allah Swt. Atas dasar inilah manusia diperintahkan untuk menggunakan nalar sehatnya agar mampu menyelami rahasia ciptaan-Nya.
 
Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berpikir” (Q.S. Al-Jatsiyah [45]: 13).
 
Ayat diatas menyatakan bahwa seluruh isi langit dan bumi akan ditundukkan al-Khaliq (Sang Pencipta) bagi umat manusia dengan cara (teknologi) yang merupakan penerapan sains, agar mereka mau melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat dengan menggunakan akal sehatnya.
 
 

Kontoversi Ilmu Sains dengan Ilmu Agama bab1


Salah satu hal kontroversi yang sering dibicarakan orang adalah masalah sains, apakah netral atau tidak? Berbagai pandangan telah beredar dalam masyarakat, yang satu sama lain tidak sesuai, karena barangkali kata-kata yang sama diartikan berbeda-beda. Untuk menghindarkan kesimpangsiuran ini sebaiknya kita memberikan definisi yang tegas pada kata-kata yang kita pergunakan.
Ambillah kata-kata “sains”. Kalau kita mendefinisikan sains sebagai himpunan pengethauan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai consensus para pakar, pada penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam, maka kiranya cukup jelaslah apa yang kita maksudkan dengan kata-kata tersebut. Selanutnya kita dapat mendefinisikan teknologi sebagai himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains dalam kegiatan yang produktif.
Orang yang mengatakan bahwa sains bersifat netral, tidak jahat dan tidak pula baik, dan bahwa yang jahat atau yang baik adalah mereka yang menggunakannya. Sebagai contoh bahwa reaksi kimiawi antara hidrogen dan oksigen yang menghasilkan air. Orang itu lalu bertanya, “apakah pengetahuan tentang reaksi ini baik atau jelek? Dimana kebaikannya atau kejelekannya?” Selanjutnya dia akan menyatakan bahwa ilmu kimia itu netral. Kalau orang  menggunakan reaksi itu mengelas pipa saluran air minum yang bocor, itu tindakan yang baik; tetapi jika mempergunakannya untuk meledakkan rumah orang lain, itu jahat.
Memang demikianlah tampaknya kalau kita hanya meninjau sekelumit saja dari ilmu kimia. Tetapi ilmu kimia tidak hanya berisi kumpulan pengetahuan tentang reaksi kimiawi saja. Ia mengajarkan juga hukum kekekalan massa atau kekekalan materi dalam reaksi-reaksi kimiawi. Ajaran semacam itu, jika tidak dikaji dan disikapi secara bijak, akan mempunyai potensi menjerumuskan kita pada suatu kepercayaan “bahwa alam semesta ini tidak pernah diciptakan, tetapi ada selama-lamanya, sejak waktu tak berhingga yang telah lampau sampai waktu tak berhingga yang akan datang”. Pada batas inilah, ilmu kimia menjadi tidak netral karena mengandung potensi persepsi dan keyakinan yang berbahaya.
Bahaya ini tentu saja tidak akan menimpa insan yang pendidikan agamanya kuat, tetapi bagi mereka yang imannya tidak begitu kuat, goncangan akan teradi dalam menghadapi ketidakselarasan antara sains yang mengajarkan kekekalan materi yang tidak pernah diciptakan, dan agama yang mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau guru agama atau orang tua siswa yang terjerumus itu mengatakan bahwa alam ini diciptakan, mereka akan menertawakannya, karena dalam laboratorium di sekolah, siswa itu dapat meyakinkan dia bahwa hukum kekekalan massa berlaku dalam reaksi kimiawi manapun. Krisis komunikasi antara anak dengan orang tua akan terjadi, dan pengingkaran terhadap agama akan berlanjut.
Kalau kebetulan orang tua itu, atau guru agama tersebut mengenal fisika, mereka dapat mengatakan bahwa massa tidak kekal karena electron dan positron, atau partikel lain dengan anti-partikelnya, dapat saling menimbulkan dematerialisasi, hingga keduanya lenyap. Namun siswa yang bersangkutan yang biasanya sangat kritis itu akan menunjuk juga pada fakta yang telah dipelajarinya juga di sekolah bahwa pada dematerialisasi antara partikel dengan anti-partikel itu timbul energi sinar gamma, yang menyusut dekat sekali dengan inti atom berat, dapat mengalami materilisasi menadi pasangan partikel dan antipartikel. Dia juga akan mengatakan bahwa materi kekal; dapat muncul sebagai massa dan dapat menampakkan sebagai energi. Hukum kekekalan massa yang semula disimpulkan dalam ilmu kimia kini diperluas dalam fisika menjadi hukum kekekalan massa dan energi.
Dan memang kelanggengan alam itulah yang diajarkan dalam kosmologi, sejak dulu sampai lewat pertengahan abad ke-20. Pada akhir tahun 1960-an barulah konsensus para ilmuwan mengakui bahwa alam tercipta sekitar 12 milyar tahun yang lalu; tetapi kelanggengannya diusahakan beberapa pakar dengan berbagai cara untuk diakui secara konsensus. Bahkan pakar-pakar kosmologi yang mencoba memutar kembali perkembangan sains menjurus kearah  pengingkaran penciptaan alam semesta oleh Tuhan Sang Pencipta alam semesta dengan mengatkan bahwa terciptanya alam adalah kebetulan saja. Dari ketiadaan, vakum yang bergoncang-goncang, secara kebetulan ia berada dalam keadaan yang energinya sangat tinggi selama waktu yang amat pendek. Namun waktu yang sekejap itu pun sudah cukup untuk mengubah energi menjadi materi. Begitulah ujar mereka, yang “dijual untuk mencari konsensus”. Apakah kita dapat mengatakan bahwa ajaran kosmologi itu netral dan bebas nilai? Unsur “kebetulan” itulah yang juga dipergunakan para pakar biologi untuk mengingkari penciptaan makhluk-makhluk hidup oleh Tuhan Sang Pencipta. Mereka mengatakan bahwa di dalam proses evolusi yang berperan adalah unsur “kebetulan”.
Mulai dari terbentuknya untai DNA dari molekul-molekul sampai pembentukan gen-gen dan kromosom, serta evolusinya menjadi berbagai jenis makhluk hidup, termasuk manusia, semua terjadi karena kebetulan saja. Tidak ada yang mengarahkan, tidak ada yang mengatur. Alam mengatur dirinya sendiri dengan hukum kebolehajadian; menyebut nama Allah mereka jadi tabu, dan mereka ingin menghindarinya di dalam setiap perbincangan ilmu, karena hal semacam itu mereka katakana hanya “mempunyai tempat dalam metafisika”. Tidak memihakkah biologi?
Sebenarnya kalau mereka mau mengakui secara juur, orang-orang pandai itu melihat adanya suatu manajemen yang sangat canggih di mana-mana pada segenap ciptaan Allah Swt itu. Lihatlah diri kita sendiri; badan kita ini memiliki komponen-komponen yang disebut organ tubuh yang bekerja menurut aturan. Jantung kita memompa darah ke seluruh bagian tubuh tanpa berhenti semenit pun sepanang umur kita; ia tidak protes meskipun organ-organ lainnya dapat beristirahat pada saat-saat tertentu. Badan kita ini suhunya dipertahankan pada ketinggian tertentu; jika udara menjadi dingin ia mencerna simpanan makanan dan mengubahnya menadi energi yang menaga agar suhu itu tidak menurun. Sebaliknya kalau udara panas, maka kelenar keringat mengeluarkan cairan itu di kulit agar ia dapat menguap dan mendinginkannya. Kalau kita sakit, badan kita memobilisasi sel-sel yang menghasilkan zat-zat di dalam aliran darah untuk membasmi penyakit yang mengganggu kita.
Adakah system yang begitu canggih yang menyusun diri sendiri dan mampu mengatur manajemennnya? Hanya saa para ilmuwan itu belum mendapat petunjuk dari Sang Pencipta. Mereka bingung dan mencari-cari siapa gerangan yang berada di belakang ini semua. Karena Tuhan yang pernah diperkenalkan kepada mereka tidak memenuhi harapan mereka. Meraka selalu bilang bahwa Tuhan yang mereka cari itu bukan Tuhan yang diajarkan oleh agama yang mereka kenal.
Ada keterkaitan antara ayat-ayat Alquran dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia sepanjang sejarah. Karena pengetahuan manusia itu berkembang atau berevolusi sesuai dengan kemajuan ilmu, maka penafsiran ayat yang sama akan memperoleh bentuk yang berlainan. Namun sebagai muslim kita harus melandasi usaha tersebut dengan keimanan. Kita tidak boleh mencoba memaksakan penafsiran dengan sains, karena sains hanya benar kesimpulannya bila semua datanya lengkap. Sebagai contoh dapat kita kemukakan konsepsi yang salah dari para ilmuwan yang mengatakan bahwa alam semesta bersifat statis,d an tak berhingga besarnya, serta ada selama-lamanya.
Padahal saat itu, mereka (para ilmuwan) belum pernah melihat adanya galaksi-galaksi yang mengalami gerak resesi; gejala ini baru mereka observasi dalam tahun 1920-an. Inilah mengapa sains pada waktu itu tidak dapat menafsirkan ayat yang menyebutkan bahwa langit diluaskan Allah Swt. Namun kadang-kadang bukan sains yang salah, tetapi pemahaman kita yang salah misalnya mengenai dimunculkannya “rawasiy” pada proses penciptaan alam semesta dan ditentukannya “aqwat” pada materi, yang ditafsirkan sebagai dimunculkannya gunung-gunung serta ditentukannya sumber pangan bagi calon penghuni setempat. Gunung-gunung apalagi makanan baru ada setelah bumi terbentuk dan berevolusi selama empat milyar tahun.
Dibahas pula kandungan nilai dalam sains yang berkembang secara sekuler, dan cara-cara menanggulangi efek negative perkembangan sains itu. Tidak mungkin sains yang sekuler membicarakan apalagi meneliti hal-hal yang tidak terobservasi dengan panca indera atau peralatan, sehingga tidaklah mungkin memasukkkan ke dalamnya hal-hal yang gaib yang diajarkan oleh agama kita. Jadi masalah-masalah yang sifatnya fisis akan tetap terpisah dari yang metafisis. Namun kita dapat mengusahakan agar efek yang negatif dari sains yang sekuler itu tidak sampai merusak keimanan dan ketakwaan umat, dengan memasang pagar-pagar sebagai limit himpunan informasi sains yang tetap berada di luarnya namun dapat dihampiri sedekat mungkin oleh anggota himpunan itu, serta dengan memberikan uraian-uraian yang benar pada peristiwa-peristiwa yang oleh para ilmuwan dikatakan sebagai suatu kebetulan

Ilmu tanpa Agama Buta, Agama Tanpa Ilmu Lumpuh


einstein1
Assalamualaikum, maaf nih udh jarang buat artikel akibat kesibukan sekolah dan sehari hari. sore ini saya akan membagikan artikel tentang Albert Einstein yg fenomenal dengan motivasinya. check it out

  Albert Einstein, seorang ilmuwan Yahudi pernah mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh” Ada dua entry point disini pertama tentang pentingnya agama untuk melambari ilmu pengetahuan dan yang kedua perlunya ilmu dalam pengamalan agama.
Artikel ini, melihat hubungan agama dengan ilmu pengetahuan dan bagaimana masing-masing dapat secara sinergi untuk memberikan apresiasi pada pernyataan Agama tanpa ilmu adalah buta, ilmu tanpa agama adalah lumpuh.
A. Pengertian Ilmu
Menurut S. Hornby[2] mengartikan ilmu sebagai “Science is organized knowledge obtained by observation and testing of fact. Hal ini menujukkan jelas bahwa ilmu adalah pengetahuan yang terorganisir yang didasarkan pada observasi dan hasil pengujian.
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia ilmu memiliki dua pengertian, yaitu,[3] Pertama Ilmu diartikan sebagai suatu pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk menerapkan gejala-gejala tertentu dibidang (pengetahuan) tersebut, seperti ilmu hukum, ilmu pendidikan, ilmu ekonomi dan sebagainya. Kedua Ilmu diartikan sebagai pengetahuan atau kepandaian, tentang duniawi, akhirat, lahir, bathin, dan sebagainya, seperti ilmu akhirat, ilmu akhlak, ilmu bathin, ilmu sihir, dan sebagainya. Pengertian pertama memberikan gambaran bahwa suatu bidang/kajian dapat dikatakan ilmu, apabila mempunyai sistem atau bagian-bagian pendukung, yang apabila salah satunya hilang, maka ia tidak dapat dikatakan suatu ilmu. Sedangkan pengertian yang kedua penekanannya lebih kepada kepandaian/keahlian/pemahaman terhadap obyek ilmu.
Jujun S. Suriasumatri menjelaskan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang digali sejak sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti berterus terang pada diri sendiri tentang ; apa yang diketahui tentang ilmu ? Apa beda ilmu dari pengetahuan lainnya ? Bagaimana kita mengetahui bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang benar ? Kriteria apa yang dipakai untuk menentukan kebenaran ? Mengapa kita mesti belajar ilmu ?[4]. Jujun. S. Suriasumantri dalam pengertian ini, lebih melihat ilmu sebagai suatu proses. Demikian pula Lexy J. Moleong melihat ilmu sebagai pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah.[5] Oleh karena itu menurut Jujun S. Suriasumantri pengetahuan ilmiah tidak sukar untuk diterima sebab pada dasarnya ia dapat diandalkan dengan suatu fakta dan argumentasi yang komprehenship, meskipun tentu saja tidak semua masalah dapat dipecahkan secara keilmuwan.[6] Dengan demikian, ilmu dalam pengertian ini didasarkan pada suatu fakta dan argumentasi yang berdasarkan pada nilai-nilai kebenaran.
Alan H. Goldman lebih melihat bahwa ilmu sesuatu yang diperoleh pada rujukan-rujukan tertentu yang diyakini kebenarannya, “knowledge is belief that is best explained by reference to its truth”[7]. Dengan demikian, maka ilmu adalah pengetahuan yang didapatkan melalui proses kegiatan ilmiah dan telah teruji kebenarannya berdasarkan dalil-dalil yang sahih yang berlaku universal. Dalam konteks filsafat, obyek material ilmu dapat dibagi ke dalam ilmu alam dan ilmu sosial. Ilmu alam melahirkan sejumlah obyek formal yang dikaji oleh dan menurut disiplin ilmunya seperti biologi, kimia, fisika, farmasi dan lain-lain. Sedangkan yang tercakup ke dalam Ilmu-ilmu sosial berupa sosiologi, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.
B. Pengertian Agama
Kata agama yang dalam bahasa Inggris disebut religion[8] diartikan dengan “bilief in and worship of God or Gods” atau juga diartikan dengan “particular system of faith and worship based on such belief”
Albert Einstein (1879-1955) seperti dikuti oleh Burhanuddin Salam, agama adalah kegiatan mengagumi dengan rendah hati roh yang tiada terbatas luhurnya, yang menyatakan dirinya dalam bagian yang kecil-kecil yang dapat disadari dengan akal. Agama juga diartikan dengan keyakinan yang sangat emosional akan adanya suatu daya pikir yang luhur yang dinyatakan dalam semesta alam yang tak dapat dipahami[9]. Demikian Alber Einstein tentang agama.
Agama dalam pandangan John Locke (1632-1704) seperti dikutif Qurasih Shihab diartikan sesuatu yang bersifat khusus, sangat pribadi, sumbernya adalah jiwa seseorang dan mustahil bagi orang lain memberi petunjuk jika jiwa sendiri tidak memberitahunya. Memperhatikan pendapat tersebut, jelas bahwa masalah agama dalam perspektif Jhon Locke adalah keyakinan yang bersemayam dalam jiwa, karena jiwa (bathini) mampu merasakan kebenaran yang mendalam.
Muhammad Syaltut juga dikutif oleh Quraish Shihab menyatakan bahwa “agama adalah ketetapan-ketetapan Ilahi yang diwahyukan kepada Nabi-Nya untuk menjadi pedoman hidup manusia”. Mencermati pengertian tersebut terdapat tiga factor berkenaan dengan agama, yaitu: pertama, fator Tuhan sebagai pemberi ketetapan, kedua, wahyu sebagai sumber ajaran, ketiga nabi sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, untuk menyampaikan risalah-risalah kebenaran (wahyu).
Syaikh Muhammad Abdullah Badran mengartikan agama sebagai hubungan antara dua pihak, yang pertama mempunyai kedudukan lebih tinggi dari yang kedua. Dengan memperhatikan pendapat-pendapat itu, Quraish Shihab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan agama adalah hubungan antara makhluk dan khalik-Nya[10]. Agama dalam pengertian Syaikh Muhammad Abdullah Badran maupun Quraish Shihab diartikan sebagai dua pihak yang berbeda kasta. Tuhan, sebagai penguasa, yang berkuasa penuh atas makhluk-makhluknya, dengan wahyu sebagai the way of life dalam proses pengabdian kepada sang Khalik.
Asif Iqbal Khan mengemukakan bahwa agama yang memberikan penyelesaian sepenuhnya pada semua masalah kompleks yang berhubungan dengan manusia. Agama bergerak dari individu ke masyarakat. Agama memperbesar klaimnya dan memegang prospek yang merupakan visi langsung realitas.[11] Asif Iqbal Khan dalam konteks ini, melihat agama sebagai “obat penenang” kegalauan manusia dalam menjalani kehidupan. Agama merupakan penuntun arah menuju tujuan yang hakiki.
Untuk memberikan gambaran dan argumentasi yang lebih jelas mengenai definisi agama, dalam Encyclopedia of Philosophy (dalam Jalaluddin Rahmat)[12] dijelaskan karakteristik agama, yaitu: Pertama, kepercayaan kepada wujud supranatural (Tuhan), Kedua. pembedaan antara obyek sakral dan profan, Ketiga. tindakan ritual yang berpusat pada obyek. Keempat tuntutan moral yang diyakini ditetapkan oleh Tuhan. Kelima perasaan yang khas agama (ketakjuban, perasaan misteri, rasa bersalah, pemujaan), yang cenderung bangkit di tengah-tengah obyek sakral atau ketika menjalankan ritual, dan yang dihubungkan dengan gagasan ketuhanan. Keenam sembahyang dan bentuk-bentuk komunikasi lainnya dengan Tuhan, Ketujuh padangan dunia atau gambaran umum tentang dunia, cara keseluruhan dan tempat individu di dalamnya. Kedelapan pengelolaan kehidupan yang bersifat menyeluruh, yang didasarkan pada pandangan dunia, dan Kesembilan kelompok sosial yang diikat bersama oleh hal-hal di atas (1 – 8). C. Kaitan ilmu dan Agama (Ilmu Tanpa Agama Buta, Agama Tanpa Ilmu Lumpuh)
Ilmu dan agama merupakan dua instrumen penting bagi manusia untuk menata diri, berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara serta bagaimana manusia memaknai hidup dan kehidupan. Keduanya diperlukan dalam mendorong manusia untuk hidup secara benar.
Sebagai makhluk berakal, manusia sangat menyadari kebutuhannya untuk memperoleh kepastian, baik pada tataran ilmiah maupun ideologi. Melalui sains, manusia berhubungan dengan realitas dalam memahami keberadaan diri dan lingkungannya. Sedangkan agama menyadarkan manusia akan hubungan keragaman realitas tersebut, untuk memperoleh derajat kepastian mutlak, yakni kesadaran akan kehadiran Tuhan. Keduanya sama-sama penjelajahan realitas. Namun kualifikasi kebenaran yang bagaimanakah yang diperlukan manusia, sehingga realitas sains dan agama masih sering dipertentangkan? Untuk menyelesaikan ketegangan yang terjadi antara sains dan agama dapat ditinjau berbagai macam varian hubungan yang dapat terjadi antara sains dan agama.[13] Demikian, analisa M. Ridwan.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis lebih melihat peran dan fungsi ilmu dan agama dalam persepektif kekinian. Dalam era globalisasi yang ditandai dengan tingkat kecanggihan teknologi, agama mulai terlihat kembali dibicarakan oleh banyak orang, karena memiliki kesempatan yang jauh lebih besar untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Umat manusia tentunya merasa bersyukur, mengingat pembicaraan agama berarti sebagai pertanda bahwa umat manusia mulai lagi membicarakan dan mencari tentang makna dan tujuan hidup.[14]. Hal ini menunjukkan bahwa, orang mulai menyadari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kaitan ini, Yudim mengatakan bahwa kebutaan moral dari ilmu itu mungkin akan membawa manusia ke jurang malapetaka. Relativitas atau kenisbian ilmu pengetahuan bermuara pada filsafat, relatifitas atau kenisbian ilmu pengetahuan, dan ilmu pengetahuan bermuara pada agama.[15] Dengan demikian, agama memegang peranan sentral dalam proses mencapai tujuan hidup.
Dalam mencermati konsep sains, Bruno Guiderdoni (dalam M. Ridwan)[16] mengemukakan pendapat yang disertai pula penalaran terhadap konsep agama. Dia membedakan istilah sains dan agama dalam banyak definisi, yaitu :
1. Bahwa sains menjawab pertanyaan “bagaimana”, sedangkan agama menjawab pertanyaan “mengapa”.
2. Sains berurusan dengan fakta, sedangkan agama berurusan dengan nilai atau makna.
3. Sains mendekati realitas secara analisis, sedangkan agama secara sintesis.
4. Sains merupakan upaya manusia untuk memahami alam semesta yang kemudian akan mempengaruhi cara hidup kita, tetapi tidak membuat kita menjadi manusia yang lebih baik. Sedangkan agama adalah pesan yang diberikan Tuhan untuk membantu manusia mengenal Tuhan dan mempersiapkan manusia untuk menghadap Tuhan.
Berkenaan dengan sains Durkheim seperti dikutif Djuretna menegaskan bahwa agama merupakan suatu sistem pemikiran yang bertujuan menerangkan alam semesta ini, dan menugaskan diri untuk menterjemahkan realitas dengan bahasa yang dapat dimengerti, yang sebenarnya adalah bahasa sains.[17] Durkheim tidak memberikan batasan yang jelas antara tugas ilmu dan mana tugas agama. Bila agama dikatakan dengan sistem pemikiran, maka apa bedanya dengan ilmu yang juga merupakan suatu proses berpikir yang sistemik/menggunakan kaidah-kaidah ilmiah.
Nico Syukur Dister Ofm mencoba memilah keduanya, menurutnya, tidak juga dapat dikatakan bahwa keinginan intelek dipuaskan oleh agama. Sebab untuk sebagian intelek manusia bersifat rasional dan sejauh keinginannya ialah menangkap dan menguasai yang dikenalnya itu. Namun demikian, agama memang memberi jawaban atas “kesukaran intelektual kognitif”, sejauh kesukaran ini dilatarbelakangi oleh keinginan eksistensial dan psikologis, yaitu keinginan dan kebutuhan manusia akan orientasi dalam kehidupan, untuk dapat menetapkan diri secara berarti dan bermakna di tengah-tengah kejadian alam semesta.[18] Nico Syukur Dister Ofm, meletakkan otonomi ilmu yang rasional untuk mengeksplorasi dan menganalisa sejauh mungkin apa yang ingin diketahui. Sedangkan agama memberi ruang, hal mana yang tidak terpecahkan oleh pemikiran manusia. Dengan demikian, logika adalah kendaraan super-exekutif untuk mencapai hakekat, tanpa logika agama takkan dapat dipahami[19] Ahmad Mufli Saifuddin, menilai, sekalipun kedua berbeda, namun ilmu dan agama dipertemukan dalam hal tujuannya. “Meskipun pendekatan yang digunakan keduanya berbeda (ilmu dan agama) atau bahkan bertentangan, keduanya memiliki tujuan yang sama yaitu menegaskan makna dan hakekat nilai kemanusiaan dan kehidupan manusia”.[20] demikian Ahmad Mufli Sulaiman.
Dalam perspektif Smith hubungan agama dan sains sebagai konflik zero sum. Terhadap pernyataan ini, Gregory R. Peterson (dalam Huston Smith : 2003, 308-401) memberikan kritiknya terhadap sebuah tulisan, Menyoal Agama dan Sains: Tanggapan terhadap Huston Smith, ia menegaskan bahwa model hubungan yang baik antara agama dan sains, bukanlah zero sum seperti ditulis Smith, akan tetapi hubungan agama dan sains bersifat non zero sum game agar potensi keduanya dapat termanfaatkan dan akan memperkaya perpaduan keduanya.[21] Dengan kata lain bahwa meskipun wilayah agama dan ilmu masing-masing sudah saling membatasi dengan jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Meskipun agama adalah yang menentukan tujuan, tetapi dia telah belajar dalam arti yang paling luas, dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah ter-ilhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama. Termasuk juga disini kepercayaan akan kemungkinan bahwa pengaturan yang absah bagi dunia kemaujudan ini bersifat rasional, yaitu dapat dipahami nalar.[22] Dengan demikian, jelas bahwa ilmu merupakan penyokong dalam mencapai tujuan hidup yang direfleksikan oleh agama. Demikian sebaliknya agama memberikan tempat bagi manusia (hamba, pen) yang berilmu dihdapan Tuhan.
1. Sikap Beragama
Semua yang dilakukan dan dipikirkan manusia adalah berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan yang amat dirasakannya dan usaha menghindari perasaan tidak enak. Ini harus tetap diingat jika kita akan memahami gerakan-gerakan spritual dan perkembangannya. Perasaan dan keinginan adalah kekuatan pendorong segala upaya dan kreasi manusia, betapapun tersamarnya ia menampakkan diri kepada kita. Desakan-desakan sosial adalah sumber lain dari terbentuknya suatu agama. Semua makhluk dapat berbuat salah. Kebutuhan mereka akan perlindungan, kasih sayang dan dukungan mendorong manusia untuk membuat konsepsi sosial, atau moral tentang Tuhan. Agama bangsa-bangsa beradab, khususnya bangsa-bangsa Timur, pada pokoknya adalah agama moral. Perkembangan dari agama-takut ke agama-moral adalah satu langkah besar dalam kehidupan umat manusia. Namun, kita tetap harus mewaspadai prasangka bahwa agama primitif didasarkan sepenuhnya pada rasa takut, dan agama bangsa beradab sepenuhnya pada moralitas. Yang benar adalah bahwa semua agama merupakan campuran yang beragam dari kedua tipe tersebut, dengan satu perbedaan: pada tingkat kehidupan sosial yang lebih tinggi, agama moralitas lebih menonjol. Satu hal yang ada pada semua tipe ini adalah watak antropomorfis dalam konsepsi tentang Tuhan.
2. Manusia Religius
Sudah pasti, tak seorang pun akan menolak gagasan adanya suatu Tuhan personal yang mahakuasa, adil, dan maha pemurah, dapat memberi bantuan dan pembimbing manusia. Tapi, di pihak lain, ada kelemahan yang terasa amat menyakitkan sejak permulaan sejarah. Yaitu bahwa jika Wujud ini mahakuasa, maka setiap peristiwa, termasuk setiap perbuatan manusia, setiap pikiran manusia, dan setiap perasaan dan aspirasi manusia adalah juga karya-Nya; bagaimana mungkin kita berpendapat bahwa manusia bertanggung jawab atas semua perbuatannya dan pemikirannya di depan Wujud mahakuasa seperti itu? Dalam memberikan hukuman dan ganjaran, Ia akan melewati penilaian terhadap diri-Nya sendiri. Bagaimana ini dapat dikombinasikan dengan kebaikan dan kemurahan yang menjadi sifat-Nya? Sumber utama dari pertentangan masa ini antara ilmu dan agama terletak pada konsep Tuhan yang personal ini.
Orang yang yakin sepenuhnya berlakunya hukum sebab akibat secara unuversal, tak akan bisa menganut suatu gagasan tentang satu wujud yang ikut campur dalam terjadinya peristiwa-peristiwa tentunya, dengan syarat ia memperlakukan hipotesis sebab-akibat itu secara serius. Ia tidak butuh lagi agama-takut, begitu juga agama-moral. Suatu Tuhan yang memberi ganjaran dan menghukum, tidak dapat lagi dipahaminya, karena alasan sederhana bahwa segala perbuatan manusia sudah ditentukan harus dilakukan, sehingga di mata Tuhan ia tak dapat bertanggung jawab – persis sama sebagaimana halnya suatu benda mati tak bertanggung jawab atas gerakan-gerakan yang dijalaninya. Demikianlah, maka ilmu telah dituduh menghancurkan moralitas, tapi tuduhan itu tidaklah adil. Perilaku etis manusia harus didasarkan secara efektif pada simpati, pendidikan, hubungan sosial, dan kebutuhan-kebutuhan; tak diperlukan dasar agama. Manusia pasti akan menjadi miskin kalau ia harus dikekang oleh perasaan takut akan hukuman dan harapan akan ganjaran setelah mati.
III. KESIMPULAN
1. Manusia modern melihat segala sesuatu dari sudut pandang pinggiran eksistensinya, tidak pada pusat spiritualitasnya, sehingga mengakibatkan ia lupa siapa dirinya. Dengan apa yang dilakukannya saat ini, mereka mendapat pengetahuan dunia material yang secara kuantitatif sangat mengagumkan, tetapi secara kualitatif, ternyata sangat dangkal.
2. Ilmu dan agama dua hal penting bagi manusia untuk dapat menjalani hidup dengan baik dan bermartabat, baik selaku pribadi, makhluk Tuhan dan sebagai masyarakat. Ilmu dan agama memberikan tuntunan agar manusia dapat berperilaku, bermasyarakat, berbangsa, bernegara secara benar.
3. Agama dan ilmu sudah punya batasan yang jelas, akan tetapi terdapat hubungan dan ketergantungan timbal balik yang amat kuat di antara keduanya. Agama menentukan tujuan, tetapi agama belajar dari ilmu, tentang cara-cara apa yang akan menyumbang pencapaian tujuan-tujuan yang telah ditetapkannya. Ilmu hanya dapat diciptakan oleh mereka yang telah teri-lhami oleh aspirasi terhadap kebenaran dan pemahaman. Sumber perasaan ini, tumbuh dari wilayah agama.
Ikhwan rahimakumullah, betapa banyak dari kita beramal tanpa didasari ilmu pengetahuan yang cukup, padahal setiap ibadah yang kita lakukan haruslah berada dalam tuntunan ilmu yang cukup. Makanya mulai sekarang, yuk kita budayakan tradisi beramal dengan dilandasi tuntunan