Rabu, 03 September 2014

Kontoversi Ilmu Sains dengan Ilmu Agama bab1


Salah satu hal kontroversi yang sering dibicarakan orang adalah masalah sains, apakah netral atau tidak? Berbagai pandangan telah beredar dalam masyarakat, yang satu sama lain tidak sesuai, karena barangkali kata-kata yang sama diartikan berbeda-beda. Untuk menghindarkan kesimpangsiuran ini sebaiknya kita memberikan definisi yang tegas pada kata-kata yang kita pergunakan.
Ambillah kata-kata “sains”. Kalau kita mendefinisikan sains sebagai himpunan pengethauan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai consensus para pakar, pada penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis yang kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala-gejala alam, maka kiranya cukup jelaslah apa yang kita maksudkan dengan kata-kata tersebut. Selanutnya kita dapat mendefinisikan teknologi sebagai himpunan pengetahuan manusia tentang proses-proses pemanaatan alam yang diperoleh dari penerapan sains dalam kegiatan yang produktif.
Orang yang mengatakan bahwa sains bersifat netral, tidak jahat dan tidak pula baik, dan bahwa yang jahat atau yang baik adalah mereka yang menggunakannya. Sebagai contoh bahwa reaksi kimiawi antara hidrogen dan oksigen yang menghasilkan air. Orang itu lalu bertanya, “apakah pengetahuan tentang reaksi ini baik atau jelek? Dimana kebaikannya atau kejelekannya?” Selanjutnya dia akan menyatakan bahwa ilmu kimia itu netral. Kalau orang  menggunakan reaksi itu mengelas pipa saluran air minum yang bocor, itu tindakan yang baik; tetapi jika mempergunakannya untuk meledakkan rumah orang lain, itu jahat.
Memang demikianlah tampaknya kalau kita hanya meninjau sekelumit saja dari ilmu kimia. Tetapi ilmu kimia tidak hanya berisi kumpulan pengetahuan tentang reaksi kimiawi saja. Ia mengajarkan juga hukum kekekalan massa atau kekekalan materi dalam reaksi-reaksi kimiawi. Ajaran semacam itu, jika tidak dikaji dan disikapi secara bijak, akan mempunyai potensi menjerumuskan kita pada suatu kepercayaan “bahwa alam semesta ini tidak pernah diciptakan, tetapi ada selama-lamanya, sejak waktu tak berhingga yang telah lampau sampai waktu tak berhingga yang akan datang”. Pada batas inilah, ilmu kimia menjadi tidak netral karena mengandung potensi persepsi dan keyakinan yang berbahaya.
Bahaya ini tentu saja tidak akan menimpa insan yang pendidikan agamanya kuat, tetapi bagi mereka yang imannya tidak begitu kuat, goncangan akan teradi dalam menghadapi ketidakselarasan antara sains yang mengajarkan kekekalan materi yang tidak pernah diciptakan, dan agama yang mengajarkan bahwa segala sesuatu diciptakan Tuhan Yang Maha Esa. Kalau guru agama atau orang tua siswa yang terjerumus itu mengatakan bahwa alam ini diciptakan, mereka akan menertawakannya, karena dalam laboratorium di sekolah, siswa itu dapat meyakinkan dia bahwa hukum kekekalan massa berlaku dalam reaksi kimiawi manapun. Krisis komunikasi antara anak dengan orang tua akan terjadi, dan pengingkaran terhadap agama akan berlanjut.
Kalau kebetulan orang tua itu, atau guru agama tersebut mengenal fisika, mereka dapat mengatakan bahwa massa tidak kekal karena electron dan positron, atau partikel lain dengan anti-partikelnya, dapat saling menimbulkan dematerialisasi, hingga keduanya lenyap. Namun siswa yang bersangkutan yang biasanya sangat kritis itu akan menunjuk juga pada fakta yang telah dipelajarinya juga di sekolah bahwa pada dematerialisasi antara partikel dengan anti-partikel itu timbul energi sinar gamma, yang menyusut dekat sekali dengan inti atom berat, dapat mengalami materilisasi menadi pasangan partikel dan antipartikel. Dia juga akan mengatakan bahwa materi kekal; dapat muncul sebagai massa dan dapat menampakkan sebagai energi. Hukum kekekalan massa yang semula disimpulkan dalam ilmu kimia kini diperluas dalam fisika menjadi hukum kekekalan massa dan energi.
Dan memang kelanggengan alam itulah yang diajarkan dalam kosmologi, sejak dulu sampai lewat pertengahan abad ke-20. Pada akhir tahun 1960-an barulah konsensus para ilmuwan mengakui bahwa alam tercipta sekitar 12 milyar tahun yang lalu; tetapi kelanggengannya diusahakan beberapa pakar dengan berbagai cara untuk diakui secara konsensus. Bahkan pakar-pakar kosmologi yang mencoba memutar kembali perkembangan sains menjurus kearah  pengingkaran penciptaan alam semesta oleh Tuhan Sang Pencipta alam semesta dengan mengatkan bahwa terciptanya alam adalah kebetulan saja. Dari ketiadaan, vakum yang bergoncang-goncang, secara kebetulan ia berada dalam keadaan yang energinya sangat tinggi selama waktu yang amat pendek. Namun waktu yang sekejap itu pun sudah cukup untuk mengubah energi menjadi materi. Begitulah ujar mereka, yang “dijual untuk mencari konsensus”. Apakah kita dapat mengatakan bahwa ajaran kosmologi itu netral dan bebas nilai? Unsur “kebetulan” itulah yang juga dipergunakan para pakar biologi untuk mengingkari penciptaan makhluk-makhluk hidup oleh Tuhan Sang Pencipta. Mereka mengatakan bahwa di dalam proses evolusi yang berperan adalah unsur “kebetulan”.
Mulai dari terbentuknya untai DNA dari molekul-molekul sampai pembentukan gen-gen dan kromosom, serta evolusinya menjadi berbagai jenis makhluk hidup, termasuk manusia, semua terjadi karena kebetulan saja. Tidak ada yang mengarahkan, tidak ada yang mengatur. Alam mengatur dirinya sendiri dengan hukum kebolehajadian; menyebut nama Allah mereka jadi tabu, dan mereka ingin menghindarinya di dalam setiap perbincangan ilmu, karena hal semacam itu mereka katakana hanya “mempunyai tempat dalam metafisika”. Tidak memihakkah biologi?
Sebenarnya kalau mereka mau mengakui secara juur, orang-orang pandai itu melihat adanya suatu manajemen yang sangat canggih di mana-mana pada segenap ciptaan Allah Swt itu. Lihatlah diri kita sendiri; badan kita ini memiliki komponen-komponen yang disebut organ tubuh yang bekerja menurut aturan. Jantung kita memompa darah ke seluruh bagian tubuh tanpa berhenti semenit pun sepanang umur kita; ia tidak protes meskipun organ-organ lainnya dapat beristirahat pada saat-saat tertentu. Badan kita ini suhunya dipertahankan pada ketinggian tertentu; jika udara menjadi dingin ia mencerna simpanan makanan dan mengubahnya menadi energi yang menaga agar suhu itu tidak menurun. Sebaliknya kalau udara panas, maka kelenar keringat mengeluarkan cairan itu di kulit agar ia dapat menguap dan mendinginkannya. Kalau kita sakit, badan kita memobilisasi sel-sel yang menghasilkan zat-zat di dalam aliran darah untuk membasmi penyakit yang mengganggu kita.
Adakah system yang begitu canggih yang menyusun diri sendiri dan mampu mengatur manajemennnya? Hanya saa para ilmuwan itu belum mendapat petunjuk dari Sang Pencipta. Mereka bingung dan mencari-cari siapa gerangan yang berada di belakang ini semua. Karena Tuhan yang pernah diperkenalkan kepada mereka tidak memenuhi harapan mereka. Meraka selalu bilang bahwa Tuhan yang mereka cari itu bukan Tuhan yang diajarkan oleh agama yang mereka kenal.
Ada keterkaitan antara ayat-ayat Alquran dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia sepanjang sejarah. Karena pengetahuan manusia itu berkembang atau berevolusi sesuai dengan kemajuan ilmu, maka penafsiran ayat yang sama akan memperoleh bentuk yang berlainan. Namun sebagai muslim kita harus melandasi usaha tersebut dengan keimanan. Kita tidak boleh mencoba memaksakan penafsiran dengan sains, karena sains hanya benar kesimpulannya bila semua datanya lengkap. Sebagai contoh dapat kita kemukakan konsepsi yang salah dari para ilmuwan yang mengatakan bahwa alam semesta bersifat statis,d an tak berhingga besarnya, serta ada selama-lamanya.
Padahal saat itu, mereka (para ilmuwan) belum pernah melihat adanya galaksi-galaksi yang mengalami gerak resesi; gejala ini baru mereka observasi dalam tahun 1920-an. Inilah mengapa sains pada waktu itu tidak dapat menafsirkan ayat yang menyebutkan bahwa langit diluaskan Allah Swt. Namun kadang-kadang bukan sains yang salah, tetapi pemahaman kita yang salah misalnya mengenai dimunculkannya “rawasiy” pada proses penciptaan alam semesta dan ditentukannya “aqwat” pada materi, yang ditafsirkan sebagai dimunculkannya gunung-gunung serta ditentukannya sumber pangan bagi calon penghuni setempat. Gunung-gunung apalagi makanan baru ada setelah bumi terbentuk dan berevolusi selama empat milyar tahun.
Dibahas pula kandungan nilai dalam sains yang berkembang secara sekuler, dan cara-cara menanggulangi efek negative perkembangan sains itu. Tidak mungkin sains yang sekuler membicarakan apalagi meneliti hal-hal yang tidak terobservasi dengan panca indera atau peralatan, sehingga tidaklah mungkin memasukkkan ke dalamnya hal-hal yang gaib yang diajarkan oleh agama kita. Jadi masalah-masalah yang sifatnya fisis akan tetap terpisah dari yang metafisis. Namun kita dapat mengusahakan agar efek yang negatif dari sains yang sekuler itu tidak sampai merusak keimanan dan ketakwaan umat, dengan memasang pagar-pagar sebagai limit himpunan informasi sains yang tetap berada di luarnya namun dapat dihampiri sedekat mungkin oleh anggota himpunan itu, serta dengan memberikan uraian-uraian yang benar pada peristiwa-peristiwa yang oleh para ilmuwan dikatakan sebagai suatu kebetulan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar